Rabu, 07 November 2012

Puisi Pahlawan

Pahlawan Tanpa Bintang Jasa
Karya : Deswina
Dalam keheningan

Lemah tatapan pada tanah yang berilalang
Terpancang tonggak bisu yang usang
Tanpa sekuntum padma dan
Taburan wangi bunga
            Tuan,
            Kami tahu desas-desus perjalananmu
            Saat itu:
            Kau saksikan semua milik dan hidupmu
            Kau perhatikan kedipan mereka yang tak rela melepasmu namun,
            Kau tetap bergerilya dengan tubuh tanpa takut akan makam
            Melintasi perbukitan dan lembah-lembah curam
Kobaran semangatmu makin menggebu
Mengaum bagai si belang yang ingin menerkam
Mencakar siapa saja yang menginjak marwah bumi pertiwi
Mengharamkan penghinaan diri
            Ketika peluru menembus rongga dada kirimu
            Ketika jantungmu masih mampu berdetak
            Kau terus melangkah di antara perdu dan semak-semak
            Kau menyeru pada ketinggian
            Dan pekikkan satu tujuan, MERDEKA!
Kau biarkan sekujur tubuhmu
Luka menganga bagai pecahan pecah
Tanpa sadar kakimu mulai goyah
Kau rentangkan senyum bahagia
Gugur dalam memeluk kenangan dan kerinduan
Tanpa butuh sedu sedan, tanpa ingin balas jasa
Tuan,
Kami tahu kau takkan kembali berontak
Seperti dulu namun,
Nisan pusaramu berbisik:
Biarlah bayangan kami menjelma kenangan
Tapi jangan kau hancurkan istana pasir harapan
Ketahuilah keheningan rahasia siang dan malam
            Tuan,
            Kau begitu rela terbaring di pusara
Mengorbankan jiwa tanpa dipinta
Sebelum sempat terkalungkan bunga jasa
Kau pergi dengan tiba-tiba
Jasa-jasamu beterbangan bagai debu
Perjuanganmu telah terpatri dalam nyanyian angin yang menderu
Pengorbananmu melekat kuat antara bangunan yang mulai rapuh
Terima kasih, Tuan
Kaulah pahlawan tanpa bintang jasa di dada
Walau tak pernah bersua
Kan slalu terkenang sepanjang masa





Cerpen Budaya Cerenti


Cinta Di Balik Tirai Jendela
Karya: Deswina

M
entari seakan memberikan senyum termanis dan memperlihatkan keperkasaannya pada Via dan keluarganya yang baru saja datang dari Jogja. Walaupun senyuman itu sedikit berbeda bagi Via, tapi hal itu tidak memudarkan bintang-bintang yang tertawa di hatinya. Betapa ia merindukan tanah kelahirannya yang begitu terasa kehangatan kota jalurnya, betapa ia tak sabar untuk bertemu dengan ibu dan ayahnya sekaligus janji pertemuan hubungan asmara. Via adalah sosok yang tidak lupa akan asalnya. Walaupun ia dibesarkan dengan kondisi lingkungan serba mewah, dan bersama mama-papanya di Jogja. Via juga mempunyai orang tua kedua. Hal ini terjadi karena Via ‘dijual’ oleh mama-papanya kepada bu Leman dan  Pak Leman. Dijual disini merupakan adat dan kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun. Jika ada anak yang sering sakit-sakitan, maka telah menjadi kebiasaan masyarakat untuk ‘menjual’ anak mereka pada seseorang yang dianggap bisa menjadi orang tua kedua anak tersebut dan mengganti namanya. Dan hal itu telah berlaku pada Via. Saat ia berumur lebih kurang dua tahun, Via tidak pernah terlepas dari yang namanya obat. Kondisi tubuhnya sangat lemah karena ia sering sakit-sakitan dan telah bermacam perlakuan yang telah dilakukan, namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya, atas anjuran almarhum kakeknya, Via kemudian dijual kepada bu Leman dan pak Leman dan namanya pun diganti dari Annisa Relya menjadi Puti Devia Annisa. Namun, beberapa tahun kemudian Via dan kedua orang tua kandungnya harus pindah ke Jogja karena papanya didinaskan di sana.
Tidak hanya itu, Via juga mempunyai satu tujuan istimewa.  Ia akan bertemu dengan seorang cowok yang menjadi impiannya selama ini. Cowok itu bernama Dendi Denola. Ia juga berasal dari Kuansing-Riau. Kak Nola, merupakan panggilan khusus untuknya. Setiap mengingat nama itu, Via seperti disetrum aliran listrik yang akan membuatnya semangat dalam mengerjakan tugas apa saja. Via pertama kali bertemu dengannya saat mereka sama-sama hadir dalam acara konser di Jakarta. Saat itu Via diganggu oleh seorang berandalan yang berusaha mencegatnya. Saat itulah tanpa disangka Via, Nola muncul dan menolongnya. Sejak pertemuan itu, mereka sering berkomunikasi dan akhirnya menjalin hubungan asmara. Hal itu juga telah diketahui oleh mama-papanya Via. Dan sepertinya mama-papanya menyetujui hubungan mereka. Maka, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan bersama, mereka akan bertemu di Taman Jalur Teluk Kuantan, ketika mereka sama-sama pulang ke kampung halamannya.
***
Remang-remang cahaya kuning keemasan mulai menembus  gorden biru milik Via. Hembusan semilir angin terdengar halus menyentuh pepohonan membuat gemerisik dedaunan  yang mulai berguguran. Deruan beberapa kendaraan yang kadang berlalu lalang membuat suasana pagi yang semakin lama semakin bising. Namun, Via masih terlelap dan berusaha tidak terpengaruh dengan kesibukan dan kebisingan itu. “Via!” tiba-tiba saja mama telah membuka gordennya dan menarik selimut  Via yang menutupi tubuhnya.  “Via masih ngantuk, ma. Huaaah…”  Via pun garuk-garuk kepala sambil terus menguap menahan kantuknya. “loh, bukannya kamu yang kangen mau kerumah ibu dan ayah? kalau tidak, ya sudah!” jawab mamanya cuek dan berlalu meninggalkan Via yang masih terkantuk-kantuk. “siap kapten!” lalu via pun beranjak turun dari tempat tidurnya dan dengan tergesa-gesa masuk kedalam kamar mandi untuk melakukan ritual setiap pagi yang biasa ia lakukan. Mamanya hanya tersenyum melihat tingkah putri satu-satunya.
***
 subhanallah, kamu cantik sekali sayang, ibu benar-benar tidak menyangka kalau kamu masih ingat dan mau datang ke sini. Benarkan, yah?” ujar bu Leman dengan  perasaan sukacita  atas kedatangan via dan orang tua kandungnya.  “iya. Kami kira kamu sudah seperti kacang lupa dengaan kul…” belum sempat pak Leman melanjutkan kalimatnya, Via telah memotong pembicaraan. “owowow, kok ayah sama ibu bisa berpikiran buruk seperti itu sih? Pakai pribahasa lagi.” Via memperlihatkan ekspresi tidak suka dan sok merajuk pada ayah dan ibunya sehingga dengan ekspresi seperti itu membuat mama-papanya tertawa. “Nga, bagaimana keadaan Deden sekarang? Saya sudah hampir lupa dengan wajahnya, seperti apa dia sekarang? Maklumlah sudah lama tidak bertemu.” papa viapun bertanya setelah tawanya reda. Nga adalah singkatan dari Onga yang merupakan panggilan untuk orang yang lebih tua (sudara laki-laki). “Alhamdulillah, Deden sekaraang kuliah di Bandung.” Jawab ayah Leman. Tiba-tiba saja via langsung bertanya pada mamanya. “ma, Deden itu siapa?” mendengar pertanyaan itu, mama, papa, ibu, dan ayahnyapun menahan tawa. Tapi, mereka memakluminya dan menceritakan tentang saudaranya. Walaupun sudah diceritakan bahwa Deden itu adalah saudara laki-lakinya, Via masih merasa bingung dan lupa. Siang hari itu, suasana di rumah pak Leman semakin terasa ramai dengan ocehan dan celetukan Via yang membuat semua yang ada di rumah itu tak dapat menahan tawa mereka.
***
Sinar matahari tak begitu terik, mama-papa via pergi ke rumah pak Leman dan istrinya untuk  memastikan acara syukuran yang akan diadakaan tiga hari lagi atas selesai diwisudanya Deden anak mereka. Namun, dengan tidak menyangka hal itu akan terjadi, mama-papa Via bertemu dan bertatap muka dengan Deden. Sungguh sesuatu di luar dugaan, bahwa laki-laki yang selama ini berhubungan dengan via adalah Deden, yang tanpa disadari oleh mama-papa via yang seakan tidak lagi mengenal wajah Deden saat kanak-kanak yang begitu berbeda jauh dengan saat ini. Ibu dan ayah Dedenpun kaget dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.  Mereka hanya diliputi kebisuan.
“Jauhi adikmu dari sekarang.” Suara serak ayahnya membuat Deden benar-benar tidak sanggup untuk berucap, wajah yang awalnya ceria penuh dengan senyuman kini tiba-tiba memucat dan lesu tak bertenaga. Namun, sesuai kesepakatan, hal itu akan segera disampaikan pada Via dengan menunggu waktu yang tepat. Melihat kenyataan yang ada, tulang dan persendiannya semakin melemah. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan di depan Via esoknya. Harapan yang ingin ia capai dan perjuangan selama ini akan hancur dalam satu kedipan mata.
***




Via sangat bahagia bias bertemu dengan Nola. Namun, Melihat ekspresi yang berbeda pada diri Nola, Via merasa ada sesuatu yang mungkin mengganggunya. Iapun bertanya dengan sangat hati-hati kalau perkataannya bias menyakiti perasaan Nola. “kak, apakah kak Nola sakit? Lebih baik kita ke dokter sekarang ya, kak?” Namun, setiap pertanyaan yang dilontarkan Via, Nola hanya bisa menggeleng lemah tanpa banyak bicara. Mendengar suara itu saja, Nola seperti dibelai semilir angin yang menggoyangkan rambutnya. Namun, ia sadar bahwa sebentar lagi suara itu akan berubah dan akan pudar dalam ingatannya.
Setelah pertemuan singkat yang dirasa cukup untuk melepas rindu, Via pun pulang dengan seribu tanda tanya. Nola masih tetap mematung tanpa ekspresi yang semakin membuat via merasa bersalah.
***
Ketika sang senja mulai beranjak ke peraduannya, semilir sang bayu mulai membelai tubuh via, entah kenapa tiba-tiba saja ia ingin ke rumah ayah dan ibunya sambil sesekali mencari udara segar dan untuk menenangkan pikirannya.
Saat via sudah berada di depan pintu rumah dan mengucapkan salam, namun tidak terdengar sahutan ataupun suara dari dalam, iapun bergegas masuk. Ketika mendekati ruangan keluarga, sayup-sayup ia mendengar orang yang sedang bercakap-cakap. Ternyata, yang ada di ruangan tersebut adalah mama-papanya, Nola, ibu dan ayahnya. Mengapa Kak Nola bisa berada di sini? Kenapa mereka semua kelihatan sangat akrab? Apakah? Satu-persatu pertanyan itu muncul dari benak Via. Dengan keberanian yang ia miliki, viapun menguping pembicaraan tersebut.
Dug! Denyut nadi Via seakan berhenti saat ia mendengar kata-kata dari kedua orang tuanya. Apakah itu benar? Mengapa aku harus dilarang berhubungan dengan kak Nola? Mengapa? Letupan antara marah dan sedih datang bertubi-tubi dalam pikiran via. Mengapa awal pertemuan dengan Nola ia tidak menyadari akan keganjalan hal itu? Padahal ia seakan-akan telah mengenal siapa lelaki yang telah menolongnya, bagaimana cara berbicaranya, dan tatapan lembut matanya, dan dia yang selalu menenangkan pikiran dikala gundah.
Via benar-benar tidak sanggup menerima semua kenyataan ini. Ia benar-benar ingin lari dari masalah yang takkan berujung. Ketika ia mulai mundur melangkah, tiba-tiba tanpa sengaja, tangannya menyentuh sebuah boneka keramik di atas sebuah meja hias di sampingnya, dan boneka itu jatuh dan hancur menjadi serpihan-serpihan tanah liat yang sudah kering. Mama, papa, ayah, ibu, dan Nola menyaksikan hal itu. Viapun segera bergegas pergi dengan terus berlari. Nola mencoba memanggil dan mengejarnya. Namun, Via tetap berlari dan berlari, seakan ia merasa tidak ada gunanya lagi ia hidup.  Tiba-tiba saja rintik-rintik hujan mulai turun. Mendung yang sedari tadi menggelayut, kini mulai memuntahkan isinya. Angin terus bertiup kencang, menerbangkan daun-daun yang berguguran, menandakan hujan akan semakin lebat. Dinginnya air hujan rupanya tak mampu mendinginkan panasnya hati Via, dan dingin yang menusuk tulang tak lagi terasa. Air hujan menyatu dengan air mata yang membasahi pipinya, ia tak tahu harus kemana untuk menumpahkan air mata dan sejuta sesal dihatinya saat ini. Siapa lagi yang saat ini mau mendengarkan ceritanya? Ia hanya ingin terus berlari menjauhi cinta yang sebenarnya di balik tirai jendela.